Senin, 25 Agustus 2014

Robert Steven Maestro Bonsai dari Indonesia



 
 
 KETERTARIKAN Robert pada dunia bonsai muncul tanpa sengaja pada 1980-an. Bermula dari jalan-jalan ke Puncak, Bogor, dia melihat sebuah pohon kerdil yang indah. Dia lalu membelinya.

"Sejak itu saya tertarik membuat bonsai. Nggak pakai sekolah khusus karena memang saya suka seni lukis dan patung," ujar Robert saat ditemui di rumahnya, Jl Batu Tulis VIII No 27-A, Jakarta Pusat, pekan lalu.

Praktis, Robert hanya mengandalkan insting seninya dalam membuat bonsai. Tak lama kemudian, pria kelahiran Binjai, 1958, tersebut bergabung dengan PPBI (Perkumpulan Penggemar Bonsai Indonesia). "Nah, justru dari situlah saya mulai bingung karena bonsai saya dikritik. Mereka bilang ini salah, nggak sesuai pakem, nggak sesuai aturan," ungkapnya.

Tapi, di dalam hati, Robert berontak. Dia hampir saja memutuskan untuk tidak lagi mendalami bonsai. Sebab, dia menganggap hobi bonsai tidak sesuai dengan cita rasa seninya yang meledak-ledak.

Suratan takdir berkata lain. Menteri kehakiman waktu itu, Ismail Saleh, yang merupakan penasihat PPBI mengajak Robert belajar bonsai ke Tiongkok. Alasannya sederhana, Robert bisa berbahasa Mandarin sehingga bisa menjadi penerjemah sekaligus belajar tentang bonsai yang memang berasal dari Tiongkok sejak lebih dari 1.300 tahun lalu.

Di Tiongkok, Robert mendapat pencerahan mengenai seni bonsai yang lain dari biasanya. "Di sana tidak diajarkan mengenai peraturan-peraturan, tapi falsafah serta aspek seni dan estetikanya. Saya pikir inilah yang bener karena seni itu memang nggak ada aturannya, nggak ada benar nggak ada salah," tegasnya.

Setelah pulang dari Tiongkok, dia baru menyadari bahwa di dunia bonsai tidak ada yang secara khusus mendalami estetika bonsai. Semua buku yang ada hanya mengajarkan teknik pembuatan dan kriteria-kriteria bonsai. "Itulah yang ditelan mentah-mentah oleh penggemar bonsai dan dianggap sebagai aturan baku," katanya.

Robert berani mempertahankan argumennya bahwa membuat bonsai tidak boleh mengikuti aturan secara membabi buta. "Semua aturan dalam buku saya catat. Mana yang dianggap salah dan mana yang dianggap benar. Ternyata, semua itu ada alasannya. Yaitu, aspek estetika seni dan aspek hortikultura yang berkaitan dengan fisiologi dan morfologi tanaman," terangnya.

Sejak saat itu, Robert mulai menulis artikel soal bonsai dan mencetak buku pertamanya berjudul Vision of My Soul yang akhirnya menjadi best seller di dunia. "Saat itulah konsep saya dikenal di seluruh dunia dan mulai banyak diundang untuk memberikan ceramah serta mengajar di berbagai negara," jelasnya.

Sebelum itu, banyak pencinta bonsai yang mengalami gejolak batin karena bonsai terlalu banyak aturan. "Tapi, kok banyak bonsai yang menyimpang dari aturan justru terlihat lebih indah. Nah, sekarang mereka mendapatkan pembenarannya dari konsep saya itu," ujarnya.

Cara pandang Robert akhirnya diakui dunia. Hingga sekarang, dia telah memenangi lebih dari 200 kompetisi bonsai tingkat nasional maupun internasional. Dia juga dipercaya menjadi sekretaris jenderal Asia-Pacific Bonsai Friendship Federation (ABFF) dan menjadi duta Bonsai Clubs International (BCI) serta Dewan Direksi BCI sejak 2002 hingga sekarang.

Karena dianggap sebagai salah seorang guru bonsai terbaik dunia, Robert kini dipercaya menjadi pakar di beberapa situs bonsai dunia serta menjadi penulis tetap di berbagai majalah bonsai di Amerika dan Eropa.

Buku-buku Robert laris-manis di berbagai negara hingga harus cetak ulang. Akhir 2008, dia kembali mengeluarkan buku keduanya berjudul Misson of Transformation yang juga menjadi salah satu buku panduan bagi penghobi bonsai dunia.

Dia berasumsi, segala model pohon di alam tidak terbentuk secara kebetulan, tapi selalu ada alasannya. "Misalnya, di mana letak sumber airnya, di mana arah sinar mataharinya, anginnya, serta faktor ekternal lain akan memengaruhi bentuk pohon. Contohnya, pohon beringin di alam terbuka pasti berbeda dari yang hidup di pinggir sungai," tuturnya.

Jadi, menurut Robert, bonsai yang bagus adalah bagaimana membentuk tanaman kecil tapi dapat membuat orang yang melihat membayangkannya seperti pohon besar yang tumbuh di alam. "Tanpa pendekatan hortikultura dan estetika, bonsai akan terkesan artifisial seperti kerajinan tangan yang semua hampir sama," cetusnya.

Aspek alam dan aspek seni estetika itu tidak pernah diajarkan di buku mana pun. Karena itu, buku-buku Robert selalu menjadi rujukan. Robert juga selalu tak lupa menekankan filsafat bonsai. Yaitu, membuat pohon bernuansa cuplikan alam nyata dalam ukuran mini. Jadi, bonsai harus sedekat mungkin seperti pohon besar di alam.

Beruntung, Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat kaya akan jenis tanaman serta iklim yang sangat menunjang. Dengan demikian, dia tidak perlu susah-susah mencari bibit yang potensial. Bahkan, ada pedagang yang khusus menyediakan bibit bonsai.

Jenis pohon yang sering dijadikan bonsai, antara lain, cemara udang, santigi, wahong, dan kelingkit. Awalnya, bibit tanaman ditaruh dalam pot besar lebih dulu untuk membentuk struktur percabangan. Ketika struktur sudah terbentuk, baru pohon dipindahkan ke pot kecil.

"Untuk membuat pohon bonsai, diperlukan waktu relatif lama, 4-5 tahun. Jadi, nggak bisa instan, harus melatih kesabaran," katanya.

Kini, ayah dua anak itu semakin sibuk mengurusi kegiatan para penghobi bonsai. Sebab, dua minggu sekali Robert harus pergi ke luar negeri mengajar di berbagai organisasi bonsai di negara tersebut. "Saya sudah di-booking hingga 2011, mengajar bonsai di berbagai negara," tutur pemilik usaha bahan stempel merek Mark Stamp itu.

Robert kini memiliki lebih dari 500 bonsai yang sebagian besar diletakkan di taman miliknya di Jl Taman Pluit Putra Putri. Dia menilai semua bonsai buatannya adalah masterpiece (karya terbaik) karena dirinya tidak pernah membuat pengulangan. "Jadi, satu sama lain pasti berbeda," ungkapnya.

Meski sudah tenar sebagai master bonsai dunia, dia menolak menjual karya-karyanya, walau ditawar dengan harga berapa pun. "Awalnya banyak yang menawar. Tapi, karena tahu saya nggak pernah jual, mereka jadi nggak berani nawar lagi. Untuk koleksi saja, dinikmati sendiri. Mungkin saya satu-satunya yang seperti itu," katanya.

Namun, Robert menyatakan masih bisa mendapat penghasilan lebih dari hobinya. Yaitu, menjadi satu-satunya importer peralatan bonsai di Indonesia. Bahkan, tahun lalu, dia membuat replika pot antik dari zaman Dinasti Qing. "Pot itu saya bakar di salah satu tempat pembakaran pot tertua di dunia, di Tiongkok. Usianya sudah 500 tahun tapi masih berfungsi," ungkapnya.

Pot model kuno tersebut dibuat dalam jumlah terbatas (limited edition), hanya 500 buah. Sebuah pot memiliki nomor dan sertifikat yang ditandatangani Robert sebagai master bonsai dunia.

"Pot tersebut mendapat tanggapan yang luar biasa dari seluruh dunia dan sekarang tinggal sedikit sisanya. Karena itu, pantas dikoleksi," ujarnya lantas tersenyum. (*/c5/ari)

Tidak ada komentar :

Posting Komentar